Langsung ke konten utama

Takkan Rugi dengan Berbagi, Kisah Si Petani Jeruk

Bro and Sis yang baik, pernahkan kita diuji dengan perasaan berat untuk berbagi sesuatu. Pasti pernah, ya. Terlebih, benda yang hendak dilepas adalah benda yang kita sukai atau jarang dimiki orang. Wah, nanti susah lagi carinya, nanti nggak aneh lagi kalau banyak yang punya, belinya mahal, atau apalah alasan lain yang bisa membuat kita berat merelakan, biasanya jadi penghambat kita untuk berbagi.

Jika alasannya sekedar kekhawatiran yang belum pasti dan ‘sebenarnya’ tak membuat kita rugi secara materil dan immateril (haha.. kayak draf tuntutan), baiknya, Bro and Sis renungkan kisah berikut ini.
Kisah Si Petani Jeruk.

Dikisahkan di sebuah desa yang asri tinggallah seorang petani sukses dengan kebun jeruk yang mampu menghasilkan jeruk berkualitas unggul. Bukan hanya di desanya, jeruk hasil kebun Si Petani tersebut sudah terkenal di desa-desa tetangga bahkan sampai ke kota.

Entah apa bedanya, padalah di desa tersebut juga ada kebun-kebun dan petani jeruk lain. Namun, kualitas kebun jeruk Si Petani yang satu ini berbeda dan jadi satu-satunya yang menghasilkan jeruk yang berukuran besar dan memiliki rasa yang sangat manis. Si Petani pun sangat puas dengan hasil kebunnya tiap kali panen jeruk tiba.

Dengan senang dia dibantu anaknya memanen jeruk yang kemudian dijual ke kota tanpa harus bersusah payah mencari pembeli karena para tengkulak sudah setia menunggu dan siap membayar dengan harga tinggi.

Melihat kesuksesan Si Petani tersebut, para tetangganya yang juga berprofesi sama sebagai petani sangat ingin memiliki kebun jeruk seperti Si Petani. Namun, rata-rata mereka tak berani mendatangi Si Petani karena ragu meraka akan diberi benih jeruk kesayangan Si Petani tersebut.

Dari sekian banyak tetangga yang memiliki hasrat terhadap benih Si Petani, akhirnya, dengan memberanikan diri seorang tetangganya datang juga kepada Si Petani pemilik kebun jeruk unggul untuk meminta benih jeruknya.

Tetangga tersebut diterima dengan baik oleh Si Petani dan anaknya. Tanpa disangka, setelah Si Tetangga mengutarakan maksud kedatangnya, tanpa terlihat berat hati, Si Petani langsung mengambil beberapa benih pohon untuk diberikan kepada tetangganya. Si Tetangga pun pulang dengan hati gembira.

Lain dengan Si Tetangga yang mendapatkan apa yang diinginkannya, anak Si Petani justru terlihat bingung dengan sikap ayahnya yang begitu mudah menyerahkan benih jeruk unggulan kebanggaan mereka. Sang Anak pun mengajukan protes.

“Ayah, kenapa ayah memberikan benih jeruk kita? Setelah tetangga kita memiliki kebun jeruk yang sama, jeruk kita tidak akan istimewa lagi, Ayah.”

Si Petani tersenyum menanggapi protes anaknya, baru kemudian dia mulai memberikan penjelasan. “Anakku, yang ayah lakukan tak lain agar kita tetap memiliki kebun jeruk yang bagus.”

“Maksud, Ayah?” Sang anak malah tambah bingung dengan penjelasan ayahnya.

“Begini, Nak. Jika ayah tak memberikan benih jeruk kita, tetangga kita akan menanam jeruk dari benih-benih lain yang bisa jadi memiliki kualitas di bawah jeruk milik kita. Terus bertambah dan akhirnya kebun jeruk kita dikelilingi kebun jeruk tetangga,” lanjut Sang Ayah.

“Lantas?” Si Anak masih belum mengerti.

“Anakku, saat kebun kita dikelilingi kebun jeruk tetangga dengan kualitas yang tak baik, angin akan membawa terbang serbuk sari dari kebun tetangga ke kebun kita untuk membuahi bunga-bunga jeruk milik kita. Selanjutnya, terjadilah perkawinan silang yang membuat jeruk di kebun kita turun kualitasnya. Tapi, jika kebun kita dikelilingi oleh kebun jeruk dengan kualitas yang sama, kualitas jeruk kita akan terjaga.”

“Kau benar, Ayah!” Si Anak akhirnya mengerti.”

Ok, Bro and Sis! Kisah yang menarik, bukan? Kita tak bisa memilih serbuk sari mana yang angin bawa untuk membuahi kebun kita. So, tebarkan kebaikan sehingga kebun kita dikelilingi kebaikan dan hanya hal-hal baik pula yang akan terbang datang membuahi kebaikan milik kita.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Ternyata Lawan Kekayaan itu Bukan Kemiskinan

Ilustrasi Kemiskinan Tak memiliki harta benda adalah ujian berat bagi kebanyakan orang. Apalagi jika hal tersebut terjadi di jaman yang segala kemudahan dan kenyamanan dapat dengan mudah dibeli dengan harta seperti sekarang ini. Semakin menjadi, para pemilik kekayaan pun dengan mudah mengekspos segala kemewahan miliknya di sosial media yang saat ini sudah memasyarakat. Hal ini otomatis membuat para social climber semakin ngiler. Atau jangan-jangan, karena penyakit ingin terlihat kaya nya, malah para social climber sendiri yang mengekspos kemewahan tersebut sebagai kamuplase status mereka yang sebenarnya tidak tergolong kaya. Dilansir dari inovasee.com (09/08/17) Berangkat dari kondisi tersebut, tak heran jika banyak orang sangat mendambakan dan berdo’a untuk hidup bergelimang harta dan kekayaan. Bolehkah? Tentu saja boleh. Mengharap perbaikan dalam hidup sangatlah logis dan usaha untuk mewujudkannya adalah kewajiban setiap manusia. Namun, benarkah semua solusi perbaikan hidup

Ternyata, Inilah Sifat yang Bisa Memuliakan dan Menghinakan Manusia

Manusia, Mahluk Berakal yang Harus Mencari Posisinya dalam Tatanan Sosial Diakui atau tidak, sebagai makhluk yang hidup dalam tatanan kehidupan yang teratur, manusia memiliki batasan-batasan dalam segala tindak tanduknya. Karenanya, pengendalian diri dari perilaku yang bisa merusak tatanan sosial di lingkungan sekitar mutlak diperlukan guna menghindari konsekuensi negatif bagi diri maupun lingkungan akibat perilaku merusak tersebut. Sejatinya, seorang manusia memang sudah memiliki filter untuk memilah mana yang baik dan buruk untuk dilakukan sebagaimana Freud yang berteori bahwa Ego yang melakukan tindakan dari dorongan dasar Id bisa dikendalikan oleh superego yang bertugas menentukan tindakan ego tadi dengan pertimbangan baik dan buruknya. Dilansir dari belajarpsikologi.com (07/09/17) Namun demikian, kadang manusia tetaplah kalah dan berbuat di luar ketentuan dikarenakan adanya tuntutan kebutuhan maupun syahwat yang terus mendesak. Contoh sederhananya, hukum positif mau

Kaji Ulang Kartika Putri Berhijab dan Rina Nose Lepas Hijab

tribunnews.com Bukan hal yang aneh ketika seorang manusia berganti pilihan sikap. Sikap yang didasari kecenderungan hati memang sangat mungkin berubah sesuai penguatan diri kita sendiri terhadap nilai-nilai yang kita pegang. Karenanya, sungguh tepat jika kita senantiasa memohon kepada Yang Maha Membolak-balikan Hati untuk diberikan karunia berupa keteguhan hati terhadap petunjuk dan ketaatan. Ya muqallibal khulub tsabit khalbi ala dinika watho'atik. Dua dari sekian contoh mudahnya hati manusia berbolak-balik tergambar dari keputusan Rina Nose dan Kartika Putri. Serupa tapi bertolak belakang dua perempuan yang berprofesi sebagai artis ini mantap mengambil keputusan besar dalam hidupnya masing-masing. Yang satu memutuskan membuka hijab yang sempat beberapa bulan menutup kepalanya, yang lainnya malah berazam untuk mulai berhijab. Terlepas niat yang hanya mereka berdua yang tahu pasti, tugas kita tak sisa selain mendo'akan kebaikan atas setiap keputusan yang mereka am