“Yang paling pandai bersyukur kepada Allah adalah orang paling pandai bersyukur kepada manusia.” (HR. At Thabrani)
Bersyukur, betapa kita sering lupa untuk bersyukur. Bro and Sis, jika kita mau berkata jujur, manakah yang lebih mudah? Bersyukur atau kecewa lalu mengeluh dan marah? Kalau saya sendiri, sepertinya reflek otak dan pikiran lebih terlatih untuk kecewa. Astagfirullah..
Padahal jika kita mau jujur, kecewa itu lebih menguras tenaga dan perasaan, loh. Pikiran pusing, perasaan sedih, makan nggak enak, dan gairah untuk mengerjakan apapun hilang. Tak bisa dibantah, memilih kecewa daripada bersyukur adalah pangkal masalah manusia, Bro and Sis.
Kembali ke hadits riwayat At Thabrani di atas, kandungan pertama dari hadist tersebut adalah anjuran agar kita menjadi orang yang pandai bersyukur. Sedangkan kandungan yang ke dua adalah pelajaran bagi kita untuk menghargai kebaikan orang lain.
Untuk masalah pertama, yaitu bersyukur kepada Allah SWT, jelaslah hal tersebut adalah keharusan yang tak dapat dibantah. Betul kita kadang menemui hal atau kondisi yang tak sesuai dengan harapan dan berujung kecewa. Namun, bagaimana dengan nikmat kita untuk dapat merasakan kecewa itu sendiri?
Mmh.. ternyata sebelum kita merasa kecewa, kita sudah dikarunia mata untuk melihat, tenaga dan untuk menjalani proses, hati untuk merasakan, dan hidup. Ya, masalah hanya datang pada orang yang masih hidup. Sudahkah kita bersyukur untuk hal-hal tersebut? Dan lebih banyak mana antara nikamat yang Dia karuniakan dibanding masalah yang datang.
Bro and Sis, bahkan dalam sebuah riwayat diceritakan bahwa ibadah ratusan tahun saja tak dapat mengganti nikmat setengah penglihatan kita.
Selanjutnya, untuk masalah pandai bersyukur kepada manusia maksudnya bukan dengan mengalihkan peran Allah SWT sebagai yang Maha Pemberi Rahmat. Bukan semata-mata bersyukur kepada manusia yang tak lemah apalagi sampai memujanya melebihi apapun. Pandai bersyukur kepada manusia tak lain hanyalah sikap kita yang mampu memaknai dan menghargai setiap kebaikan yang orang lain dedikasikan terhadap kita.
Secara logis, sebenarnya hal ini tak perlu dibahas secara mendalam. Penghargaan adalah kebutuhan pokok manusia. Ketika kebaikan seseorang dihargai, tak ada motivasi lain yang muncul di hati orang tersebut selain keinginan untuk terus berbuat baik.
Sedangkan untuk kita sendiri, penghargaan terhadap kebaikan orang lain pada hakikatnya adalah wujud syukur kita terhadap Dzat yang Maha Baik dan mampu menggerakan hati setiap manusia untuk berbagi kebaikan terhadap sesamanya. Karenanya, ucapkan Alhamdulillah, “Segala puji adalah milik Allah di setiap syukur kita terhadap apapun. Wallahualam..
Bersyukur, betapa kita sering lupa untuk bersyukur. Bro and Sis, jika kita mau berkata jujur, manakah yang lebih mudah? Bersyukur atau kecewa lalu mengeluh dan marah? Kalau saya sendiri, sepertinya reflek otak dan pikiran lebih terlatih untuk kecewa. Astagfirullah..
Padahal jika kita mau jujur, kecewa itu lebih menguras tenaga dan perasaan, loh. Pikiran pusing, perasaan sedih, makan nggak enak, dan gairah untuk mengerjakan apapun hilang. Tak bisa dibantah, memilih kecewa daripada bersyukur adalah pangkal masalah manusia, Bro and Sis.
Kembali ke hadits riwayat At Thabrani di atas, kandungan pertama dari hadist tersebut adalah anjuran agar kita menjadi orang yang pandai bersyukur. Sedangkan kandungan yang ke dua adalah pelajaran bagi kita untuk menghargai kebaikan orang lain.
Untuk masalah pertama, yaitu bersyukur kepada Allah SWT, jelaslah hal tersebut adalah keharusan yang tak dapat dibantah. Betul kita kadang menemui hal atau kondisi yang tak sesuai dengan harapan dan berujung kecewa. Namun, bagaimana dengan nikmat kita untuk dapat merasakan kecewa itu sendiri?
Mmh.. ternyata sebelum kita merasa kecewa, kita sudah dikarunia mata untuk melihat, tenaga dan untuk menjalani proses, hati untuk merasakan, dan hidup. Ya, masalah hanya datang pada orang yang masih hidup. Sudahkah kita bersyukur untuk hal-hal tersebut? Dan lebih banyak mana antara nikamat yang Dia karuniakan dibanding masalah yang datang.
Bro and Sis, bahkan dalam sebuah riwayat diceritakan bahwa ibadah ratusan tahun saja tak dapat mengganti nikmat setengah penglihatan kita.
Selanjutnya, untuk masalah pandai bersyukur kepada manusia maksudnya bukan dengan mengalihkan peran Allah SWT sebagai yang Maha Pemberi Rahmat. Bukan semata-mata bersyukur kepada manusia yang tak lemah apalagi sampai memujanya melebihi apapun. Pandai bersyukur kepada manusia tak lain hanyalah sikap kita yang mampu memaknai dan menghargai setiap kebaikan yang orang lain dedikasikan terhadap kita.
Secara logis, sebenarnya hal ini tak perlu dibahas secara mendalam. Penghargaan adalah kebutuhan pokok manusia. Ketika kebaikan seseorang dihargai, tak ada motivasi lain yang muncul di hati orang tersebut selain keinginan untuk terus berbuat baik.
Sedangkan untuk kita sendiri, penghargaan terhadap kebaikan orang lain pada hakikatnya adalah wujud syukur kita terhadap Dzat yang Maha Baik dan mampu menggerakan hati setiap manusia untuk berbagi kebaikan terhadap sesamanya. Karenanya, ucapkan Alhamdulillah, “Segala puji adalah milik Allah di setiap syukur kita terhadap apapun. Wallahualam..
Komentar
Posting Komentar